Surat Cinta untuk Ibu
Desember 21, 2013
Ruang
Hampa, 22 Desember 2013
Teruntuk
Ibuku tersayang, di rumah.
Dalam
senyap di penghujung malam yang basah dan dingin, di sudut ruang hampa dengan
kelip lampu yang tergantung di langit-langit kamar aku memainkan jemariku di
atas keyboard laptop, sehingga tersusunlah
kalimat-kalimat ini yang kunamai sebagai surat cinta untukmu. Iya untukmu Ibu.
Dalam surat cintaku ini aku tak akan tanya kabar, aku tau Ibu baik-baik saja di
sana bahkan saat ini aku yakin Ibu sedang bahagia. Iya. Karena semalam aku baru
saja memimpikanmu, gurat-gurat bahagia terlukis pada wajah teduhmu yang telah
dimamah usia. Senyum terkembang oleh kedua bibirmu. Aku memang tak tahu betul
yang menyebabkan Ibu bahagia seperti itu karena dalam mimpiku semalam Ibu
tak menceritakan suatu hal apapun. Mungkin omset jualannya kian bertambah ? .
Aku tak tahu. Atau mungkin Ibu baru saja mendapatkan undian arisan dengan
Ibu-Ibu di sekitar rumah ?. Aku juga tak tahu. Entahlah. Yang jelas berkat
mimpiku semalam rindu yang kian membuncah sudah sedikit terobati meskipun hanya
lewat dunia mimpi.
Sewaktu
aku masih mendekam di dalam rahimmu, tak hentinya aku terus saja berbicara pada
Tuhan agar mempercepat kelahiranku, jemariku sungguh tak sabar ingin dibelai
oleh jemarimu, pipi merahku yang merona tak sabar ingin segera dihujani oleh
kecupmu yang basah. Waktu itu hanya bisa mendengar suara detak jantungmu yang
menjadi kata untuk mengajakku bercengkrama. Meskipun terkadang aku suka ketika
Ibu menyanyikan lagu-lagu tentang bulan dan bintang – bahkan lebih suka lagi
saat Ibu melantunkan kalimat-kalimat agung milik Tuhan, tapi aku sudah sangat
ingin melihatmu dan membahagiakanmu, walau wajahmu baru bisa ku terka-terka,
kala itu.
Aku
bangga menjadi orang yang pernah bersarang dalam rahimmu Ibu. Akan aku lakukan
apapun demi kebahagiaanmu, sekalipun harus menjual jantungku beserta
tangkainya. Selama hidupku, kepalaku hanya dihuni bagaimana caranya untuk
membahagiakanmu.
Selama ini Ibu selalu menyinari hidupku dengan segenggam do'a, seulas senyum,
sepotong nasihat. Sinar kasihmu sepanjang masa. Selalu membimbingku. Ibu adalah
perempuan tangguh. Pekerja penuh waktu. Pejuang yang tak kenal lelah demi
putrimu. Lewat sinar yang Ibu pancarkan, aku bisa meraih apa yang aku impikan.
Dan masih banyak mimpi-mimpi berikutnya. Seiring dalam proses pencapaian
mimpi-mimpi berikutnya semoga engkau akan tetap selalu menyinariku Ibu. Sinarmu
yang tak pernah temaram karena bagiku Ibu adalah matahariku yang tak pernah
terbenam.
Bagiku Ibu seperti air
laut, karena kasih sayangmu untukku tak pernah surut dan do’amu bagai jembatan
kebahagiaan yang tak pernah putus meski kadang aku terlampau sering
menoreh luka di hatimu.
Bagiku Ibu adalah kalimat
cinta yang tak bertitik karena cintamu tak pernah usai.
Bagiku Ibu adalah gedung
tertinggi di dunia yang memilki pondasi yang teramat kokoh, meski badai kerap
kali datang menerjang, akan tetapi Ibu tetap masih mampu berdiri dengan
kuat dan tegar.
Bagiku Ibu adalah rumah
yang selalu aku tuju, karena aku selalu menemukan kenyamanan di dalamnya. Pintu
hatimu yang selalu terbuka lebar untuk putrimu.
Ibu,
tidakkah engkau tahu ? Kalau rinduku terhadapmu itu tak pernah ada jeda atau
spasi, sekalipun bibirku tengah mengecup punggung tanganmu, sekalipun bahu kita
sedang saling berdampingan, sekalipun sepasang bola mata kita saling beradu
pandang, sekalipun gelak tawa mengiringi di sela-sela hari pertemuan kita,
sekalipun kita sedang menonton pertunjukkan senja yang disuguhkan oleh langit
yang jingga merona. Rindu ini tetap bergelayut manja memenuhi rongga
dadaku. Aku pikir rinduku ini serupa bumi yang katanya bulat, dan tak
dapat aku temukan sudut-sudutnya atau bumi juga tak dapat aku temukan ujungnya
tapi bumi mempunyai poros yang tak pernah berhenti berputar karena kelelahan
untuk mengedarkan waktu. Begitu juga dengan rinduku ke Ibu tak pernah menemui
ujungnya, tak pernah merasa kelelahan untuk mengitari rongga dadaku. Aku
rindu wajah teduhmu, yang mengingatkanku pada langit biru yang begitu
meneduhkan.
Aku
sadar aku belum berbuat banyak untuk Ibu, jika harus dibandingkan dengan jerih
payah pengorbananmu selama ini dan sampai kapanpun sepertinya tidak akan pernah
sebanding dengan apa yang aku berikan dan perbuat untukmu. Karena pengorbananmu
selama ini tak tertakar. Terima kasih telah membagikan sifat tegar dan
pemaaf pada darahku. Aku beruntung menjadi orang yang telah dilahirkan dari
rahimmu. Aku rindu dan sayang Ibu.
Dewi Sri,
Putri Bungsumu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam Kontes Menulis #UntukIbu.
Tulisan ini juga aku adaptasi atau aku rangkum dalam bentuk puisi yang kemudian dimuat di Majalah Annida Online sila cek di mari : Syair Cinta Untuk Ibuku
Tulisan ini juga aku adaptasi atau aku rangkum dalam bentuk puisi yang kemudian dimuat di Majalah Annida Online sila cek di mari : Syair Cinta Untuk Ibuku

0 komentar
Terimakasih sudah berkunjung di blog ini. Kolom komentar ini menggunakan moderasi, silakan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang santun. Untuk komentar yang sifatnya berlebihan atau spam, promosi dan sejenisnya mohon maaf tidak akan saya tampilkan.
Salam,
-Dewi Sri-