Surat Melayang
Mei 12, 2014
Di kolong langit yang
basah, 20 Maret 2014
Teruntuk, Sahabatku
tersayang. Di Surga.
Di
penghujung sore yang kelam, hujan kembali bercumbu dengan bumi. Selain senja,
bagiku hujan juga seperti mesin waktu yang mampu menyeret ingatanku akan semua
kenangan manis yang pernah mewarnai hidupku, sehingga jemariku tergerak untuk
menulis secarik surat ini untukmu. Iya untukmu, Sahabatku. Sahabat yang dulu
kupanggil “Bochan”. Kau pasti rindu sekali bukan dengan suaraku kala menyerukan
namamu dengan sebutan “Bochan” ?
Bochan,
bagaimana di surga ?. Apa sungguh menyenangkan ?. Sudah bertemu Tuhan ?. Apa
Tuhan mengijinkan kau sesekali turun ke bumi untuk secara diam-diam berjumpa
denganku ? hanya sekedar untuk merayakan kerinduan yang selama ini kita tabung.
Rindu ini teramat menghujam hati, aku merindukanmu Bochan, kami semua di sini
merindukan gelaktawa dan sunggingan senyummu.
Bochan,
tidakkah kau ingin melihat aku yang sekarang ? Aku sekarang sudah menjelma
menjadi sosok perempuan yang tumbuh dewasa. Ah iya, selama ini Tuhan banyak
sekali menghadiahiku dengan kejutan-kejutan yang indah, salah satunya yaitu aku
bisa mewujudkan impianmu Bochan, berawal dari cita-citaku yang ingin masuk
Pendidikan Sastra akan tetapi nyasar dengan mulus di Fakultas Kedokteran.
Bukankah bisa masuk kedokteran itu mimpimu kala kita duduk di bangku SMP ? Hmmm
aku tau, mungkin di surga sana kau berbisik pada Tuhan untuk mewujudkan mimpimu
yang diwakilkan lewat aku, sehingga Tuhan membelokkan cita-citaku yang dulu
ingin menjadi seorang guru, tapi sekarang aku calon dokter.
Bochan,
tepat 3 hari lagi umurku genap menginjak angka 22 tahun. Namun, rasanya aku
malas dan enggan sekali untuk melihat kalender dan menghitung mundur hari.
Karena itu artinya tahun ini akan jadi kali ke-5 aku berulangtahun tanpamu
Bochan. Ah, kelopak mataku tiba-tiba saja basah bila mengingat ini. Dan itu artinya
akan jadi kali ke-5 aku meniup api lilin ulang tahun hanya seorang diri. Ah
Bochan, ingin rasanya mengulang kembali seluruh rangkaian peristiwa denganmu.
Terlebih sebelum kau kembali ke pelukan Tuhan, tiap bulan maret tiba, kita
selalu meniup api kecil itu bersama. Kau masih ingat bukan ? Ketika senja mulai
beranjak pergi, kita berdua menuju ke tepi pantai. Bukan lagi senja yang
menemani kita, melainkan sebuah cahaya kecil dari kobaran api yang telah kita
ciptakan. Api kecil itu bergoyang lembut ketika semilir angin datang
menghampiri, kita menjaganya agar tidak padam. Sebelum kita meniup api kecil
itu kita melakukan satu ritual yang unik atau bisa dikatakan konyol yaitu
menghanyutkan sebuah surat ke bibir laut, surat tersebut berisikan
harapan-harapan kita yang ditujukan kepada Tuhan. Bochan, sungguh aku
merindukan itu semua.
Kau
dan aku seperti gadis kembar namun dilahirkan dari rahim yang berbeda. Kita
lahir pada tanggal,bulan dan tahun yang sama. Tak hanya kebetulan kita lahir di
tanggal yang sama akan tetapi banyak sekali kemiripan dan kesamaan yang menimpa
kita. Melihat dan mengenalmu itu, aku rasanya seperti sedang bercermin. Kita
berdua mempunyai hobby yang sama, mengidolakan sang artis
yang sama, pengagum senja, menyukai anime,
pecandu bakso, menyukai warna yang sama. Namun ada satu hal yang berbeda yaitu
cita-cita. Atau mungkin jika kau masih berpijak di bumi ini, mungkin saja kita
akan jatuh cinta pada laki-laki yang sama hahahaha.
Aku
bersyukur sekali Tuhan mengenalkan kepadaku sosok sepertimu. Darimu aku bisa
belajar tentang banyak hal, terutama tentang arti kehidupan. Darimu aku
mengenal kesederhanaan, keikhlasan, dan ketegaran. Aku mengenalmu sebagai sosok
gadis periang nan sederhana. Terima kasih Bochan selama ini sudah menjadi
sahabatku yang baik.
Oh
iya, sepanjang menulis surat ini, aku terus tersenyum membayangkan betapa
merasa kesulitannya si tukang pos yang bertugas mengirimkan surat ini untukmu.
Pasti dia pusing tujuh keliling memutar otaknya untuk mencari jalan agar
suratku sampai ke surga.
Baik-baik di surga yah
Bochan. Peluk jauh dari kolong langit yang basah.
Dariku,
Sahabatmu yang
sekaligus menjadi kembaranmu, namun dari rahim yang berbeda.
~Dewi Sri~
---------------------------------------------------------------------------------
1 komentar
Ini tulisan nyata ya Mbak ? sahabatnya emang sudah pergi meninggalkan dunia ini ya ?
BalasHapusTerimakasih sudah berkunjung di blog ini. Kolom komentar ini menggunakan moderasi, silakan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang santun. Untuk komentar yang sifatnya berlebihan atau spam, promosi dan sejenisnya mohon maaf tidak akan saya tampilkan.
Salam,
-Dewi Sri-